SIAPA?
(Sebuah Cerita Pendek Oleh : Deny Joe)
(Sebuah Cerita Pendek Oleh : Deny Joe)
“Siapakah dia? Sepertinya raut wajah itu tak asing buat saya. Lalu kenapa dia ada disini?”
****
Dia masih
terlihat tampan seperti kemarin, cuma kali ini dia agak sedikit urakan. Matanya
juga agak merah, Kenapa dengan matanya? Mungkin dia kebanyakan tidur,
seharian tadi sebelum kita bertemu disini setiap kali saya tanya kegiatanya
pasti dia bilang : “Nggak ngapa-ngapain, lagi tiduran aja!” atau mungkin akibat
hawa panas dapur restoran ini yang menguap terbawa aliran angin dari Air
Conditioner ke matanya? Mungkin juga karena pantulan cahaya yang mengenai
jaketnya yang juga berwarna merah ? Atau mungkin karena saya?
Dia masih memainkan jarinya, dengan cara mematah-matahkan ruasnya. Saya pikir benar-benar patah karena beberapa kali saya mendengar bunyi “JTAK!” yang cukup kencang. Saya tak berani bicara. Matanya melirik kesana-kemari tapi dengan posisi kepala dan muka yang tidak bergerak sama sekali, yang terlihat hanya kerutan alisnya sesekali. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu. Mungkin sesuatu yang ada didalam pikirannya yang membuat matanya menjadi merah. Tapi apa? Mungkinkah saya?
Dia masih memainkan jarinya, dengan cara mematah-matahkan ruasnya. Saya pikir benar-benar patah karena beberapa kali saya mendengar bunyi “JTAK!” yang cukup kencang. Saya tak berani bicara. Matanya melirik kesana-kemari tapi dengan posisi kepala dan muka yang tidak bergerak sama sekali, yang terlihat hanya kerutan alisnya sesekali. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu. Mungkin sesuatu yang ada didalam pikirannya yang membuat matanya menjadi merah. Tapi apa? Mungkinkah saya?
“Ini pesenan
makanannya mbak.” Tiba-tiba seorang pelayan datang membawakan makanan yang saya
pesan beberapa menit yang lalu.
“Iya mbak
terimakasih ya..” Jawab saya.
Pelayan itu
cuma menganggukkan wajahnya. Tapi sebelum berbalik pelayan sempat menoleh ke
arah dia, dan dia cuma menyunggingkan senyumnya. Wah manis sekali senyuman itu.
Sepertinya saya memang ingin sekali memiliki senyuman itu secara utuh. Agar
setiap waktu bisa saya ciumi manis senyumnya.
“Beneran
kamu ga mau makan?” Sekali lagi saya menawarkan makan kepada dia. Jangan sampai
nanti pertanyaan saya tentang matanya yang merah mendapat jawaban : Matanya
merah karena dia berusaha menahan lapar.
“Bener, kamu
aja. Saya udah makan. minum saja!” dia menjawab pertanyaan saya singkat.
“Yasudah..
Saya makan ya…”
Kemudian
saya mendekatkan piring makan saya dan mulai memakannya. Terlihat dia
mengeluarkan sebungkus rokok dan mengambilnya satu batang, lalu menyulutnya.
Dia tersenyum kepada saya. Kepalanya pun saya lihat bergerak manggut-manggut
tak kencang mengikuti alunan lagu yang dibawakan oleh Home band yang
penyanyinya berambut gondrong dengan setelan hitam berompi yang tentu saja saya
kenal.
****
“Siapakah dia? Sepertinya raut wajah itu tak asing buat saya. Lalu kenapa dia ada disini?”
****
Saya dan dia bediri mematung didepan restoran yang masih ramai dengan pengunjung meski waktu sudah hinggap pada jam malam. Waktu serasa berhenti tak ada kata yang lagi terucap. Yang ada hanyalah bingung yang menyeruak masuk kedalam rongga dada saya. Saya dan dia tak berdaya. Lumayan lama kami terjebak dalam diam seribu bahasa. Terjebak dalam percakapan buntu. Yang ada hanyalah bisu.
Saya terus
diam menunggu mulutnya mengeluarkan suara. Menunggu dia bicara. Namun sesaat
saya lihat kembali dia mengambil rokok dari saku kemejanya. Matanya masih tetap
merah, tapi tangan dan bibirnya yang sedari tadi terlihat gemetar berangsur
meledar. Ketika sesaat dia menghisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskan
asapnya. Dia pun sedikit terlihat tenang.
“Kamu saya
antar pulang ya?” Gelondongan kebekuan seketika pecah dan mencair oleh
pertanyaannya.
Saya hanya
tersenyum simpul menjawab pertanyaannya. Demi apapun sebenarnya saya tidak
ingin pulang. Saya ingin tetap disini menatap matanya yang merah, menatap
senyumnya yang manis, walaupun kuping saya kurang begitu puas dengan sikap dia
yang dingin dan sedikit bicara. Tapi sesaat kemudian indera pendengar saya
terasa kembali bekerja ketika dia mengulangi pertanyaannya.
“Kamu saya
antar pulang ya!!??” kali ini dengan suara agak lebih keras.
“Tidak usah,
saya pulang sendiri saja, lagian rumah saya tidak jauh kok dari sini.”
“Udah ga
usah nolak! Pokoknya kamu saya antar pulang ya!”
Kembali saya
tak bisa menjawab pertanyaannya, semoga senyuman saya bisa menjelaskan semuanya
bahwa sebenarnya saya sangat ingin dia mengantar saya pulang sampai kerumah.
“TAKSI!!!!!!!!!!!!!!”
****
“Siapakah
dia? Sepertinya raut wajah itu tak asing buat saya. Lalu kenapa dia ada disini?”
****
Siapa dia
sebenarnya. Kenapa walaupun saya baru saja bertemu dengan dia, tetapi seperti
saya sudah lama mengenalnya. Yang paling aneh adalah kenapa sejenak baru saja
dia pergi tiba-tiba saya merasa rindu? Kenapa saya merasa merasakan nyaman
ketika saya ada didekatnya? Semoga ini bukan karena matanya yang merah.
Saat-saat
seperti ini sepertinya harus saya bungkus dengan mengucap beribu syukur. Meski
seharian tadi saya merasa sangat tersiksa dengan rutinitas saya. Kuliah dan
bekerja dibelakang meja dan mesin kasir yang seolah akan menelan saya. Saya
juga berterima kasih kepada penyanyi berambut gondong direstoran tadi yang
telah mengenalkan saya dengan dia. Rindu yang berubah resah semoga sampai
kepadanya melalui angin malam ini yang membuat saya menggigil dingin. Dan
semoga tempat tidur tua yang telah saya tiduri sejak kecil ini bisa membawa
saya ke alam mimpi yang akan mempertemukan kembali saya dengan dia.
Tapi sesaat
ketika saya hendak memejamkan mata saya tiba-tiba terdengar ada yang mengetuk
pintu kamar saya.
“Iya bu….”
Segera saja saya membukakan pintu kamar saya dan ternyata memang benar ibu saya
telah berdiri di balik pintu.
“Iya bu… ada
apa?”
“Siapa
laki-laki yang mengantar kamu pulang tadi?”
“Teman bu.”
“Teman
siapa?”
“Teman saya
bu.”
“Kok ibu ga
pernah lihat dia sebelumnya?”
“Baru ketemu
tadi bu!”
“Ooohh… tapi
kok ibu ngerasa ada yang aneh ya?”
“Maksud ibu?”
“Iyaa..
maksudnya ibu kok seperti tidak asing dengan laki-laki itu.”
“Tidak asing
bagaimana? Memangnya ibu memperhatikan dia tadi?”
“Iya.. ibu
memperhatikannya. Siapa dia sebenarnya?”
“Waah.. saya
ga tau bu… sudah ya bu, saya ngantuk. Saya mau tidur dulu.”
“Ya
sudaaahh….!!!”
****
“Siapakah
dia? Sepertinya raut wajah itu tak asing buat saya. Lalu kenapa dia ada disini?”
****
Saya duduk
berhadap-hadapan dan menatap matanya dalam. Saya melihat ada masa lalu yang
kelam. Saya melihat ada rangkaian cerita yang tersulam. saya merasa sebentar
lagi saya akan dihantam oleh dendam yang sudah lama terpendam.
“Kamu inget
ga? Dua belas tahun lalu ketika kamu berumur delapan tahun, ibu menikah dengan
orang yang sekarang menjadi papa kamu?” Setelah menelan roti yang ada didalam
mulutnya dan meminum kopi yang sudah tidak mengepulkan uap, ibu mulai angkat
bicara.
“Iya bu, saya ingat! internal memori saya cukup mempuyai ruang untuk menyimpan itu.”
“Iya bu, saya ingat! internal memori saya cukup mempuyai ruang untuk menyimpan itu.”
“Kamu ingat
siapa nama ayah kandung kamu?”
“Saya sudah
melupakannya bu. Bahkan saya sudah tidak ingin lagi mengingat lelaki keparat
itu.”
“Coba kamu
ingat-ingat lagi.”
“Untuk apa
bu, saya tidak mau mengingat orang yang sudah menerlantarkan kita. Apa ibu
lupa, dengan seenaknya dia mengencani ibu, menghamili ibu, dan karena takut
sama istrinya dia lalu membuang kita! Tidak akan pernah sudi saya memanggil
ayah kepada bajingan macam dia! Kenapa kita harus mengingatnya bu? Kita sudah
bahagia sekarang. Papah walaupun bukan ayah kandung saya, dia baik sama saya
seperti anaknya sendiri. Coba ibu bayangkan jika papah tidak ada? Ibu akan
punya anak tanpa suami dan saya akan lahir tanpa ayah! Lelaki bajingan!!!!
BANGSAT!!!!”
Saya melihat
mata ibu memerah. Tapi tidak sama dengan mata dia yang juga berwarna merah.
Saya melihat ada luka lama disana, ada kelabu di mata ibu.
“Kamu tidak tahu kan, kalau ayah kandungmu itu punya anak lelaki dari istrinya??”
“Tidak tahu, kenapa memangnya? Lagi pula, untuk apa saya tahu?”
“Dulu waktu ibu masih berhubungan dengan ayah kandungmu, ibu pernah bertemu dengan anaknya.”
“Kamu tidak tahu kan, kalau ayah kandungmu itu punya anak lelaki dari istrinya??”
“Tidak tahu, kenapa memangnya? Lagi pula, untuk apa saya tahu?”
“Dulu waktu ibu masih berhubungan dengan ayah kandungmu, ibu pernah bertemu dengan anaknya.”
“Lalu….???”
“Anaknya
bernama Deni..”
“Deni??”
“Iya Deni Priatna!!”
“Iya Deni Priatna!!”
****
“Siapakah
dia? Sepertinya raut wajah itu tak asing buat saya. Lalu kenapa dia ada disini?”
****
“Heeiii bang..
maaf ya telat, ini buku pesanannya..” Dengan segera saya meminta maaf
kepada teman saya yang seorang penyanyi berambut gondrong dengan setelan hitam
berompi.
“Oh iya gapapa…wooww… mantaapp… berapa nih harus gue bayar?”
“Oh iya gapapa…wooww… mantaapp… berapa nih harus gue bayar?”
“Ah.. elu
bang,, santai aja… belum mulai bang acaranya??”
“Belum
bentar lagi mungkin, Oia lupa kenalin, ini temen gue Deni!”
Dengan
segera saya menyodorkan tangan saya kearah temannya yang tidak saya sadari
sudah ada disana sejak tadi. Dia menyambut tangan saya dengan dengan jabatan
tangan yang mantap.
“Hallo gue
Arien!”
“Hey.. gue
Deni, Deni Priatna. Nice to meet you!”
(denyjoe at
gudangkubus 25 Mei 2012, 3:09:13 am)
0 komentar:
Posting Komentar