GELAP ‘NYA
Sebuah Cerita Pendek Oleh : DENY JOE
Mereka tarik menarik… Mereka saling adu kuat!!
“Bruk…!”
Seketika ‘Nya membantingkan bokongnya kelantai, dan menyandarkan punggungnya ketembok. Sepatu merah maroon tanpa tali perlahan dilepasnya dengan jari-jari yang kaku. Tersingkap warna biru keunguan dibetis ‘Nya yang bersih. Pantas saja tadi ketika turun dari angkot warna biru langit kemudian ‘Nya jalan menelusuri gang menuju kamarnya agak sedikit ngilu dan terlihat pincang. ‘Nya Cuma tersenyum getir melihatnya. ‘Nya berfikir kalau itu tak seberapa dibanding dengan lebam yang ada di lengan juga pelipisnya yang jelas terlihat dan jelas terasa sangat sakit.
Tak banyak bayang-bayang yang bisa ditangkap oleh mata maupun pikiran ‘Nya. Hening seakan menikmati desiran angin dari rotasi baling-baling kipas kecil yang bersuara kasar. Gemeretak tikus mondok yang menggerogoti makannya di bak sampah depan kamar menjadi irama, bersinergi dengan detak detik jam dinding kotak bermotif bunga yang menunjukkan angka malam. Cicak-cicak pun mulai genit, bersahutan berdecakan mencoba mengambil bagian dalam orkestrasi irama malam ini. Mata ‘Nya yang kosong semakin mengabut, entah kabut dari mana? Gunung Bromo, Pangrango, atau Papandayan mungkin? Perlahan dan sedikit demi sedikit mata ‘Nya mulai mengatup, dan binarnya mulai padam.
Sesekali ‘Nya mengerjapkan matanya, sepertinya dia memastikan kalau dirinya sadar kalau saat ini dia sedang berbaring ditengah ruangan seperti kubus yang sempit. Bagian kulitnya yang terbuka terasa dingin karena bersentuhan dengan lantai tanpa alas. Tetapi dalam lepas dan mengendornya kerutan didahi ‘Nya seperti ada perasaan lega dan nyaman melingkupinya.
Tiba-tiba ada tangan yang menyentuh pipinya. Terasa hangat, desir aliran darah seperti menjalar kesetiap sendinya. ‘Nya diam, dan menikmati belaian tangan itu. Kemudian ‘Nya mulai merasakan hal yang aneh, ketika belaian tangan yang hangat tadi berganti hembusan nafas yang semakin mendekat ke wajahnya. Dekat dan semakin dekat! Sampai akhirnya tak bisa dihindari ketika bibir ‘Nya terpagut dengan nafas yang kini sudah mendekap.
“Heyy!!!! Kenapa kamu ada disini????”
‘Nya menoleh dan terkejut setengah mati ketika mendapati seorang laki-laki dengan mata yang tajam memperhatikannya. Wajah ‘Nya terlihat cantik tetapi kaku dan membeku seperti air yang disimpan dalam frezer membentuk batu es.
“Kenapa kamu bisa ada disini?” ‘Nya mengulagi pertanyaannya.
Laki-laki itu diam tak menjawab. Matanya yang tajam masih saja memandangi wajah ‘Nya yang dingin. Perlahan matanya mulai memutar dan berputar meneliti tiap inci ruang kubus dengan lekat dan teliti walau terlihat bingung.
“Entahlah…. Aku tidak ingat apa-apa. Yang aku tau aku hanya berlari dan berhenti ketika aku terhalang tembok. Kemudian aku berteriak sekencang-kencangnya, beseru kepada alam semesta. Dan entah bagaimana caranya, tiba-tiba semuanya berubah, segalanya menjadi ringan dan mudah. Dan aku bisa lakukan dan dapatkan apa yang aku inginkan.”
‘Nya mengerutkan keningnya membentuk guratan bingung. semakin berkerut bingung semakin ‘Nya meringis ketika kulit dahinya terkondensasi dan menarik lebam di pelipisnya. Dalam bingungnya ‘Nya kembali terkejut ketika indera penciumnya mengendus asap hangat yang menguap dari kepulan teh panas beraroma melati. Sedap sekali!
“Ini teh panas buat kamu cantik!” Laki-laki itu menyodorkan cangkir yang masih mengepulkan wangi yang menyeruak kesetiap sudut ruang kubus itu.
Kebingungan ‘Nya semakin menjadi, dia yakin matanya belum sempat berkedip menatap laki-laki itu, darimana laki-laki itu mendapatkan secangkir teh panas? Kenapa tiba-tiba saja dia menyodorkannya kepada ‘Nya? Mungkinkah laki-laki itu telah menjadi seorang illusionis seperti yang sering muncul dalam acara magic di televisi?
“Ini minumlah!” laki-laki itu mengembangkan senyumnya.
“Terima Kasih.”
Di raihnya cangkir dengan kedua tangan ‘Nya, tanpa mengurut waktu panas dari cangkir teh menjalar ke ari tangan ‘Nya menembus kedalam jaringan epidermis kulit ‘Nya. Bibirnya yang merah perlahan menempel dengan bibir cangkir berisi teh dan meniupnya sesekali. Aroma melati dari seduhan teh dalam cangkir beradu dengan wangi nafas ‘Nya.
Mata ‘Nya kembali berbinar, aliran darah semakin terasa berdesir mengalir dalam jaringan urat ‘Nya. Roh ‘Nya seakan utuh kembali.
“Maaf aku tadi benar-benar gelap, aku mencari cahaya dan meninggalkanmu dengan membanting pintu tanpa sepatah kata.” ‘Nya berkata lirih.
“Tak apa.. aku ada disini sekarang, kan? Mungkin tadi kamu terkoptasi oleh persepsi, pikiran, pembayang, dan pengingat subyektif yang akhirnya membentuk emosi. Dan seketika emosi itu aktif, emosi dan kognisi akan saling mempengaruhi satu sama lain dan pada akhirnya memuncak seperti tadi, aku tidak menyalahkan kamu, karena mungkin aku juga begitu.” Laki-laki itu menegaskan.
Laki-laki itu kemudian tersenyum, matanya masih belum lepas memandang wajah ‘Nya. Dan kemudian tanganya meraih tangan ‘Nya yang menggenggam cangkir teh. Laki-laki itu terpejam seolah merasakan kehangatan dari Konduksi perpindahan panas dari air teh ke cangkir, cangkir ke tangan ‘Nya, dan tangan ‘Nya ke tangan laki-laki itu.
Sekali lagi wajah ‘Nya dan wajah laki-laki itu berdekatan semakin dekat, mata mereka saling menatap, hidung mereka pun akhirnya ber besekan, Bibir mereka saling berpagut, lidah dengan lidah, tak ada lagi jarak diantara mereka, mereka seakan satu.
‘Nya tersenyum kemudian menundukan kepalanya. Matanya yang jernih terlihat berkaca-kaca. Laki laki itu kemudian mengambil cangkir teh dari tangan ‘Nya dan meletakannya. ‘Nya masih menuntuk dan mematung, kaca-kaca air dimatanya masih belum pecah. Sampai ketika laki-laki iru meraih tubuh dan memeluk ‘Nya, tanpa sadar air mata ‘Nya tertumpah, mengalir menganak sungai membelah pipi, membasahi lesung pipit ‘Nya. Hanya suara isak yang keluar dari mulut ‘Nya. Laki-laki itu memeluk ‘Nya erat, dan ‘Nya membalasnya lebih erat lagi.
“Sudahlah… setiap kejadian pasti ada tujuannya. Terlalu cetek otak kita untuk bias menerka kuasa khalik.”
Getaran suara laki-laki itu seakan menggema di telinga ‘Nya, ‘Nya merasakan nafasnya tersenggal-senggal, seakan dadanya terhimpit bukit, panas bergolak seperti akan segera meletus. Tapi dekapan laki-laki itu seolah membendung segalanya. Ruang kubus menjadi semakin panas, dan membuat gerah, bulir-bulir keringat dari keduanya terus menetes. Kipas kecil yang berusaha meniupi kesejukan pun tak terasa dan semakin tak berarti.
“Kamu pasti cape, sekarang tidur ya sayang… istirahat!” Laki-laki itu sembari mengecup dua kelopak mata ‘Nya.
“Iya… Aku sayang kamu…”
Gelap… tak ada segaris bias cahayapun yang bisa di tangkap oleh pupil mata ‘Nya. Bukan gelap seperti siang tadi, tapi gelap ini membuat tiba-tiba saja ‘Nya seperti merasakan kantuk yang luar biasa, rasanya seperti sudah berhari-hari tidak tidur. Seketika ruang kubus berubah menjadi istana lagit dengan tumpukan awan-awan membentuk tempat tidur. Dan ‘Nya pun tertidur.
****
“Saya tidak tahu apa-apa pak! Kemaren saya haya melihat mba Kanya datang sendirian ke kostannya mas Denis pak!”
****
“Saya sih sempat mendengar mereka teriak-teriakan, ah… saya pikir paling juga mereka lagi becanda pak!”
****
“Bunuh aja gue sekalian!!! Saya cuma mendengar mba Kanya teriak itu pak!”
****
“Mas Denis dan mba Kanya baik kok pak orangnya!”
****
“Waaahhh… kalau ditanya masalahnya apa? Mana saya tau pak?”
****
SEORANG LAKI-LAKI BERNAMA DENIS DITEMUKAN MENINGGAL DI KAMAR KOSTNYA, DENGAN LUKA AKIBAT PUKULAN BENDA KERAS DI BAGIAN KEPALA. DIDUGA DENIS MENINGGAL AKIBAT PERKELAHIAN DENGAN PACARNYA YANG DISEBUT BERNAMA KANYA. SAMPAI SAAT INI BELUM DIKETAHUI MODUS PERKELAHIAN DENIS DENGAN KANYA. POLISI MASIH MENCARI KETERANGAN DARI PARA SAKSI DAN WARGA SEKITAR RUMAH KOST DENIS.
****
Mereka tarik menarik… Mereka saling adu kuat!!
(Untuk Yangku : Gudang Kubus, 21 Desember 2011 2:39 am.)
Kamis, 22 Desember 2011
GELAP ‘NYA
18.16
No comments
0 komentar:
Posting Komentar